Panas dingin Hubungan Indonesia-Pasifik Selatan
Tulisan Hasan Sadeli
Alumni PMII
SIDANG umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ke 75 berlangsung sejak 15 september dan akan berakhir tanggal 2 oktober 2020 nanti. Kegiatan itu berjalan tidak seperti biasanya, karena ditengah situasi pandemi virus corona atau Covid-19.
Ada hybrid meeting yakni ada yang hadir secara virtual ada juga yang datang langsung. Ada beberapa hal yang menarik dalam sidang kali ini yakni Presiden Jokowi menyampaikan pidato dalam sidang majelis umum untuk pertama kali sejak menjadi Presiden.
Pada sesi pidato tersebut, Jokowi menyampaikan tentang perlunya peningkatan kerjasama antar negara terutama dalam menghadapi Covid-19. Semua pemimpin negara menyampaikan pidato yang dalam beberapa adegan bergeser menjadi suasana debat yang basis utamanya AS dan Tiongkok.
Terjadi narasi saling memojokan antara dua negara berpengaruh dalam sidang umum yang menciptakan kebisingan, sehingga menarik perhatian banyak peserta termasuk Indonesia. Akan tetapi yang paling membuat bising telinga delegasi Indonesia ialah pernyataan Bob Loughman pemimpin Vanuatu (Negara di Pasifik Selatan) yang secara konsisten dan gigih menyoroti Papua.
Sejak sidang-sidang sebelumnya, Vanuatu vokal mengangkat isu pelanggaran HAM pemerintah Indonesia terhadap orang-orang Papua. Pada 2016, Vanuatu, Kepulauan Solomon, ditemani beberapa Negara Pasifik lainnya juga menyuarakan isu yang sama. Tidak saja dalam sidang umum, melainkan dalam forum khusus HAM PBB. Vanuatu bahkan mengajak serta salah satu tokoh separatis yang memperjuangkan referendum bagi Papua Barat yakni Benny Wenda bersama rombongan delegasinya.
Upaya beberapa Negara di Pasifik Selatan mengangkat persoalan Papua di forum internasional nampaknya menjadi agenda rutin dalam sidang umum PBB. Mereka berposisi seolah sebagai katalisator aspirasi masyarakat Papua. Bahkan bila mundur ke belakang, negara-negara Pasifik Selatan menyebut Indonesia sebagai negara penjajah yang segala tindakannya diasosiasikan sebagai politik ekspansif termasuk ketika proses integrasi Papua.
Padahal, jika dilihat dari keterlibatan Indonesia dalam peran kepeloporan dan partisipasi aktif di berbagai forum internasional tidak satupun yang menguatkan indikasi Negara-negara Pasifik Selatan. Yang mencolok mungkin perjuangan diplomasi di PBB bersama Negara-negara gerakan Non Blok yang melahirkan resolusi MU-PBB N0. 1514 (XV) dan 1541 (XV) pada tahun 1960, peran kepemimpinan sebagai juru bicara dan juru runding utama bagi kelompok G77 pada dasawarsa 70-an di Swiss, Perancis, dan New York/AS.
Semua pelibatan dengan dunia internasional diarahkan untuk kepentingan keamanan dan kemanusiaan dan tanpa terikat kekuataan ideologi tertentu. Hal ini sebagaimana diamanahkan dalam alinea ke-empat UUD 1945 “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Ini merupakan mandat konstitusional yang dijadikan pedoman bagi berjalannya Politik luar negeri RI yang bebas aktif. Akan tetapi prinsip dan rekam historis keterlibatan Indonesia dalam forum internasional tidak terlalu dihiraukan oleh Negara-negara dikawasan pasifik selatan. Sejak dasawarsa 1960an mereka melihat Indonesia sebagai ancaman. Persepi itu membuat Indonesia mendapat begitu banyak tuduhan dari Negara-negara dikawasan tersebut. Apa dan bagaimana sesungguhnya realitas hubungan antara Indonesia dengan Negara-negara dikawasan Pasifik Selatan. Penting bagi tulisan ini menelusuri kembali rekam historis yang mungkin dapat memetakan latarbelakang munculnya kecurigaan dan pandangan negatif terhadap Indonesia.
Sikap anti-Indonesia dan gerakan solidaritas persaudaraan Melanesia
Kawasan Pasifik Selatan seacar geografis sedemikian luas dan dekat dengan Indonesia. Meskipun demikian kebanyakan orang Indonesia tidak mengetahui eksistensi Negara-negara pasifik selatan, bahkan untuk sekedar menyebutkan satu atau dua nama Negara saja mungkin banyak yang masih awam. Padahal penting untuk menyadari arti Pasifik Selatan serta relevansinya dengan pertahanan dan kemananan nasional. Kawasan Pasifik Selatan, membentang seluas 30 juta Km2, dari perbatasan Republik Indonesia (RI)-Papua Nugini sampai ke Kepulauan Pitcairn di Utara, serta Australia dan Selandia Baru di Selatan. Luas seluruh kawasan yang dimaksud tidak termasuk Selandia baru dan Australia yang posisinya lebih ke selatan. Negara-negara dikawasan ini, umumnya memiliki jumlah penduduk yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan Indonesia.
Pasifik Selatan meliputi beberapa Negara merdeka seperti Vanuatu, Fiji, Kiribati, Nauru, Papua Nugini, Samoa barat, Solomon, Tonga, Tuvalu, dam Negara-negara yang pernah berada di bawah pengawasan negara besar dikawasan tersebut yakni Selandia Baru. Regionalisme di kawasan ini melahirkan rasa persatuan (sense of unity) yang berdasarkan pada keterkaitan tradisi dan kepentingan, yang selanjutnya ikut mempengaruhi pandangan politik.
Fakta lain yang tidak dapat dikesampingkan ialah bahwa beberapa Negara di Kawasan Pasifik Selatan memiliki kesamaan etnologi, utamanya dengan penduduk yang berada diwilayah Timur Indonesia. Karena kawasan ini terbagi kedalam 3 wilayah budaya, yakni Mikronesia, Melanesia, dan Polinesia. Khusus untuk wilayah budaya Melanesia, yang memiliki kesamaan terutama aspek etnologi dengan penduduk di wilayah timur Indonesia, salah satunya Papua. Dibagian selatan garis ekuator, membentang dari arah Barat menuju tengah Samudera Pasifik, merupakan wilayah budaya Melanesia. Entitas politik yang ada didalamnya yaitu Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan Kaledonia Baru. Negara-negara dari rumpun ini secara intensif menyuarakan gerakan bernama persaudaraan melanesia, mereka menyoroti dan mengangkat setiap persoalan yang terjadi di Papua dan wilayah yang lepas dari Indonesia yang sekarang menjadi Negara Timor Leste. Isu Papua pada gilirannya menjadi isu regional.
Baiq L.S.W. Wardhani, dalam Kajian Asia Pasifik : Politik Regionalisme dan Perlindungan Manusia di Pasifik Selatan menjelaskan bahwa Regionalisme telah tumbuh sejak wacana progresif dari kesadaran regional dikawasan tersebut digagas tahun 1947 melalui pembentukan Komisi Pasifik Selatan (South Pasific Commision). Tujuan didirikannya SPC adalah untuk memulihkan stabilitas di wilayah Pasifik yang mengalami pergolakan dan perubahan politik cukup signifikan setelah Perang Dunia II. Perubahan politik yang dimaksud ialah berlangsungnya proses dekolonisasi dunia saat itu yang juga berdampak ke kawasan Pasifik Selatan.
Beberapa alasan yang mungkin dapat difahami ialah karena negara-negara tersebut bermaksud menunjukan determinasinya dalam mewujudkan tatanan demokrasi. Pada dasawarsa 1960an sampai sekitar tahun 1980an lahir negara-negara Pasifik selatan yang menginginkan kedaulatan penuh, disaat yang sama khusunya pertengahan tahun 1960an, Indonesia gencar mengupayakan politik konfrontasi dengan Malaysia dan melakukan upaya-upaya diplomatik untuk menyelesaikan persoalan Papua yang ditangguhkan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Bukan suatu kebetulan jika sikap anti kolonialisasi dikawasan tersebut juga menandai munculnya sikap anti-Indonesia, terutama yang berhubungan dengan integrasi Papua (saat itu Irian Barat).
Vanuatu berulangkali menunjukan sikap anti-Indonesia dan menyuarakan tuntutan lahirnya sebuah negara Papua Merdeka. Vanuatu dan Negara-negara Pasifik selatan dihantui kekhawatiran berlebihan dan mensimulasikan secara sepihak mengenai apa yang telah Indonesia lakukan terhadap Papua juga akan menimpa mereka. Lebih dari itu, persepi etnologis lebih kental dinarasikan sehingga himbauan untuk menyelamatkan sesama Melanesia ditegakan. Isu etnologis sering dijadikan alat oleh negara-negara Pasifik Selatan dalam menyoroti masalah Papua. Itu sebabnya negara-negara ini menyebut Indonesia sebagai negara “asing” yang patut untuk dicurigai. Selain itu, mereka juga kerap meyuarakan “Persaudaraan Melanesia” dan mengarah pada keinginan untuk membentuk suatu Federasi Bangsa Melanesia, yang Irian Barat (Papua) termasuk didalamnya. Federasi yang dimaksud tidak lain ialah pendirian Melanesian Spreadhead Group (MSG). Meskipun secara khusus MSG mempunyai fokus terhadap peningkatan ekonomi dan budaya melanesia akan tetapi salah satu negara anggotanya yakni Vanuatu yang bersikap diametral dan senantiasa menunjukan sikap tidak sejalan dengan Indonesia.
Isu etnologi menguat menjadi isu kawasan di Pasifik Selatan yang aktor terdepanya ialah Vanuatu. Isu semacam ini tidak berdiri sendiri, asal usulnya dapat dilacak dari watak kolonial Belanda. Hal itu sedemikian tercermin dalam lamanya proses intergrasi Papua. Jika kembali pada masa dimana KMB digelar, diskusi panjang dan alot akan terjadi saat diketengahkan soal Irian Barat. Bahkan beberapa delegasi Indonesia yang saat itu bernama Republik Indonesia Serikat seperti Moh. Hatta dan Ide Anak Agung Gede Agung menuntut agar Irian Barat masuk kedalam wilayah RIS. Belanda menyatakan bahwa secara etnologis orang Irian tidak termasuk orang Indonesia, sementara Indonesia berpegang pada Perjanjian Linggajati yang menetapkan Negara Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat mencakup seluruh bekas Hindia Belanda.
Persfektif etnologi yang diketengahkan dalam menilai status Papua sedemikian dominan, sudut pandang tersebut juga dianut negara-negara Pasifik Selatan pada saat melancarkan kritik Papua terhadap RI. Sehingga tidak heran jika beberapa Negara Pasifik Selatan mendukung gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Belanda juga mendiasporakan isu pengaburan sejarah orang Papua oleh Indonesia. Tetapi dunia internasional tidak terkecuali Presiden AS John F Kennedy menyanggah dengan menyatakan bahwa upaya apapun yang isinya ingin memisahkan Papua dari Indonesia ialah suatu kebutaan sejarah.
Diplomasi RI dikawasan Pasifik Selatan
Sebagai respon kritik Negara-negara Pasifik Selatan, pemerintah melakukan pembahasan dalam negeri lewat kerangka implementasi GBHN 1983 dan secara khusus menyatakan perlu mengadakan peningkatan hubungan diplomatik dengan Negara-negara dikawasan Pasifik Selatan. Kebijakan politik luar negeri Indonesia dengan negara-negara terus dibangun ketika dasawarsa 80an, hal ini terutama untuk meminimalisir kecaman negara-negara dikawasan tersebut. Sebelumnya perhatian terhadap kawasan tersebut masih minim.
Indonesia secara intensif meningkatkan kerjasama diberbagai bidang dengan membuka kawasan diplomasi bagi kepentingan Nasional. Pada tahun 1983, Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmaja. memulai rangkaian kunjungannya ke negara-negara Pasifik Selatan. Sebenarnya, Indonesia telah mulai merintis pengembangan hubungan diplomatik dengan beberapa negara Pasifik Selatan, seperti fiji (1974), Papua Nugini (1975), Samoa Barat (1980), namun karena hubungan bilateral dengan negara-negara tersebut masih belum berarti maka kegiatan diplomatik Indonesia dirangkap dari perwakilan Indonesia di Australia atau Selandia Baru. Selanjutnya, sebagai upaya untuk membangun mitra kerjasama dengan negara-negara berkembang seperti yang tertuang dalam GBHN 1983 bahwa Indonesia perlu meningkatkan kerjasama regional maupun inter-regional dalam rangka kepentingan nasional. Terdapat beberapa prinsip dasar yang memperkuat Indonesia dalam upaya diplomasi di Pasifik selatan antara lain :
Pertama, Terdapat kesamaan bahasa misalnya bahasa orang Samoa dengan bahasa Jawa, juga adanya dongeng yang mengatakan bahwa mereka datang dari barat dengan menggunakan perahu-perahu yang juga menjadi ciri khas mulai dari sumatera hingga pulau-pulau di pasifik sebagai lambang bentuk rumah. Kedua, adanya kesamaan etnis antroplogis antara orang-orang Indonesia bagian barat dengan orang-orang Filipina, Polynesia, dan Mikronesia, juga orang-orang Melanesia dengan orang-orang Indonesia bagian timur. Ketiga, Negara-negara di Pasifik Selatan umumnya baru merdeka pada sekitar tahun 1960-1970an, sehingga pada masa itu mereka masih mencari identitas diri yang tidak jarang mengetengahkan isu etnologis yang menjadi simbol persatuan dalam membentuk regionalsime baru di Pasifik.
Indonesia juga membangun kerjasama dalam bidang yang dinamai Kerjasama Teknik Negara-negara Berkembang (KTNB). Bangunan hubungan tersebut terus berlanjut dan menjadi harapan agar tumbuh suatu sikap saling menghormati dan saling percaya antara Negara-negara di Pasifik Selatan terhadap Indonesia. Selain itu, hubungan kerjasama regional dimaksudkan agar bisa meminimalisir gangguan-gangguan terhadap wilayah paling timur Indonesia tersebut. Meskipun negara-negara dikawasan tersebut mayoritas terrdiri dari negara-negara kecil. Namun yang menjadi persoalan ialah dukungan provokatifnya terhadap para separatis OPM atau organisasi-organisasi semacamnya yang berpotensi mengancam keamanan nasional.
Dunia, khusunya Pasifik Selatan perlu diingatkan tentang rentang sejarah panjang Indonesia yang mencakup Papua didalamnya. Papua merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia karena persamaan historis, nasib, serta keinginan untuk hidup bersama. Tinjauan etnologis sama sekali bukan faktor utama pengikat suatu Negara-bangsa. Selain itu, fakta lain yang menguatkan ialah bahwa tidak ada satupun negara bangsa didunia ini yang benar-benar homogen.
Terlepas dari beberapa akar persoalan yang dikemukakan diatas, semua hal yang mengarah pada upaya memisahkan Papua dari Indonesia adalah masalah yang tidak bisa ditolerir. Pemerintah harus menggandakan kewaspadaan dan upaya untuk mempertahankan keutuhan NKRI. Mengingat gangguan-ganguan kecil tetap tidak bisa sepenuhnya dikatakan hilang, dengan atau tanpa dukungan pihak luar potensi gerakan separatis tetap besar. Karena faktanya gerakan-gerakan separatis hingga kini masih ada di Papua, mereka mengunakan hutan-hutan ketika melakukan upaya penyerangan terhadap aparat, diantara mereka ada yang berbaur dengan masyarakat sekitar saat sedang melakukan aktivitas biasa. Terakhir dan ungkin yang paling penting ialah sikap tegas Indonesia terhadap Vanuatu yang berulangkali memperlihatkan sikap tidak bersahabat. Suatu negara berdaulat yang sudah merdeka lebih dari 7 dasawarsa lamanya jangan tinggal diam ketika negara lain secara terang-terangan berusaha mencampuri urusan dalam negeri dan bahkan berpotensi mengancam keutuhan NKRI.(***)